Perlu-tidaknya suplemen makanan bagi orang per orang, sangat tergantung pada kondisi kesehatan seseorang. Kalau masih ragu, konsultasikan dengan dokter.
Paling tidak dalam lima tahun terakhir suplemen makanan (SM) membanjiri berbagai gerai obat. SM lantas menjadi istilah untuk menunjuk produk yang mengandung satu atau lebih nutrien penting, seperti vitamin, mineral, dan protein. Definisi di atas lantas diperluas lagi oleh Dietary Supplement Health Education Act (DSHEA), AS, dengan memasukkan produk untuk proses pencernaan. Termasuk di dalamnya berjenis-jenis vitamin, mineral, asam amino, herba, dan tumbuh-tumbuhan. Berbagai produk itu muncul dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, gel, atau cair.
Ada banyak alasan orang mengonsumsi suplemen makanan. Salah satunya yang sering dikatakan adalah membantu menyembuhkan dan memulihkan kondisi badan. Sebagian lagi berpendapat SM dipakai untuk menambah zat-zat makanan yang dianggap kurang. Lainnya memberi argumen untuk menjaga kondisi badan agar tetap fit. Sisanya, adalah mereka yang asal tenggak lantaran merasa tersugesti selama tetap mengonsumsinya.
Suka kebablasan
Dengan cepat, kebiasaan mengonsumsi SM menjadi trend masyarakat perkotaan. Orang dianggap kuno bila tidak mengonsumsi SM. Pandangan itu, tentu saja ditopang oleh kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dan meningkatnya pendapatan.
Di AS, hasil riset yang dilakukan oleh Packaged Facts Inc., New York, menunjukkan separo dari populasi orang dewasa di sama membelanjakan lebih dari AS $ 6,5 untuk SM. Apa yang terjadi di Amerika, mengimbas di Indonesia.
Prof. dr. Iwan Darmansjah, Sp.FK menyatakan, perkembangan suplemen makanan mulai terasa menyusul diberlakukannya DSHEA pada 1994 di AS. Undang-undang ini mengatur penjualan SM secara bebas tanpa perlu pembuktian efektivitas produk (oleh produsen), seperti lazimnya berlaku untuk obat.
Di Indonesia, mula-mula produk SM merupakan produk impor yang dijual dengan harga tinggi dan dipromosikan dengan khasiat untuk menjaga kesehatan serta meningkatkan vitalitas tubuh. Bahkan ada yang kebablasan, mengklaim dapat mengobati. Hal yang ditabukan dalam salah satu klausul DSHEA, di mana SM tidak boleh mencantumkan klaim penyembuhan atau pengobatan suatu penyakit, jika terhadap SM itu belum dilakukan penelitian klinis yang membuktikan klaim tersebut.
Tetapi industri dibenarkan untuk membuat function claim atau health claim, misalnya memperbaiki kesehatan, menyegarkan tubuh, atau menggantikan zat dalam makanan. Minyak bawang putih, misalnya, tidak boleh mencantumkan klaim menurunkan tekanan darah tinggi, namun boleh dijual bebas dengan klaim, pengganti bawang putih dalam makanan.
SM memang bukan obat. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 329/Menkes/Per/XII/76 jelas-jelas tertera SM adalah makanan sebagai barang untuk dimakan dan diminum, tetapi bukan obat. Namun akibat pengaruh iklan, SM seolah-olah punya klaim penyembuhan atau pencegahan penyakit ini dan itu. Dalam hal ini peranan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) sangat penting dalam menentukan pemberian label, klaim, serta etika periklanan untuk melindungi konsumen.
DSHEA dan undang-undang pelabelan yang ada di AS telah mengatur soal klaim dan labeling. Dalam soal pelabelan misalnya, SM harus mencantumkan beberapa hal seperti: identitas produk (misalnya: ginseng); jumlah isi (misalnya: 60 kapsul); pernyataan klaim kegunaan (misalnya: produk tidak diperiksa oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika atau FDA serta tidak digunakan untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit).
Pada label juga harus dicantumkan cara penggunaan dan dosis pemakaian (misalnya ditelan, diminum 3 x per hari). Tak ketinggalan penyebutan zat aktif. Terakhir nama, tempat pembuatan, distributor, serta alamat, wajib disertakan.
Di negara kita pun sudah ada usaha untuk mengatur pelabelan ini. Undang-undang Konsumen No. 8/Th 1999 menyebutkan label itu sekurang-kurangnya harus memuat nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat si produsen atau importir, dan tanggal kedaluwarsa.
Di samping itu soal klaim SM rupanya merupakan ranah yang paling kontroversial. Produsen tentu mengandalkan senjata itu untuk mendongkrak penjualan. Tetapi konsumen sering bertanya-tanya apakah klaim yang digembar-gemborkan benar adanya.
Bisa tiga klaim
Sementara UU No. 8/th 1999 hanya mencantumkan larangan mencantumkan klaim bahwa pangan yang bersangkutan itu berkhasiat sebagai obat, DSHEA memaparkan aturan lebih terinci. Produsen SM boleh menggunakan tiga klaim: klaim kandungan nutrisi, klaim interaksi terhadap penyakit, dan klaim nutrisi penunjang.
Klaim kandungan nutrisi menunjukkan tingkat nutrisi di dalam SM. Sebagai contoh, suplemen yang mengandung 200 mg kalsium per penyajian harus diinformasikan sebagai "tinggi kalsium". Sementara suplemen yang berisi paling tidak 12 mg per penyajian vitamin C, pada label harus dituliskan dengan "sumber vitamin C terbaik".
Dalam hal klaim interaksi terhadap penyakit maka yang dimaksudkan adalah hubungan antara kandungan nutrisi dalam SM dengan kondisi kesehatan seseorang. FDA menegaskan, klaim itu harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah, atau badan yang punya otoritas mengeluarkan pernyataan itu, misalnya National Academy of Sciences. Jadi, bila SM itu mengandung sejumlah kalsium, maka produsen dapat memunculkan klaim "kalsium dan rendahnya risiko osteoporosis".
Klaim nutrisi penyokong memperlihatkan hubungan antara kekurangan nutrisi dengan penyakit defisiensi. Misalnya, label suplemen makanan yang mengandung vitamin C sebaiknya ditulis "Vitamin C mencegah scurvy".
Di samping ketiga klaim di atas produsen diizinkan memunculkan klaim yang berhubungan dengan fungsi tubuh secara keseluruhan, termasuk pengaruhnya terhadap kebugaran tubuh. Ini dikenal dengan structure-function claims. Misalnya: "kalsium membikin tulang kuat" atau "antioksidan menjaga keutuhan sel".
Betapa pun hebatnya khasiat yang dijanjikan, suplemen makanan tetap cuma makanan pelengkap. Sebagai pelengkap, uplemen makanan bukan diartikan sebagai pengganti makanan kita sehari-hari. Soalnya, zat gizi dan non-gizi sebenarnya dapat kita peroleh dari makanan sehari-hari se-perti sayuran, buah-buahan, tempe, dll.
Apalagi banyak SM yang bahan-bahannya masih belum diketahui fungsi yang sebenarnya. Sementara di pasaran suplemen makanan ternyata lebih banyak mengandung vitamin dan mineral. Seperti dilaporkan Warta Konsumen, November 2001, vitamin memang berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh. Vitamin dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Karena itu harus didatangkan dari luar.
Nyatalah dalam mengonsumsi vitamin yang paling penting adalah dosis yang pas bagi tubuh. Soalnya terlalu banyak atau terlalu sedikitnya vitamin yang dikonsumsi akan berefek negatif bagi kesehatan. Gejala kelebihan vitamin disebut dengan hipervitaminosis. Sebaliknya, kekurangan vitamin dikenal dengan istilah avitaminosis.
Mineral juga berperan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh. Saat ini dikenal 24 mineral esensial. Seperti halnya vitamin, mineral harus dikonsumsi dalam jumlah pas. Kalsium yang dimakan terlalu banyak akan menghambat absorbsi besi. Demikian pula kebanyakan konsumsi seng akan menghambat absorbsi tembaga.
Keberadaan vitamin dan mineral dalam tubuh secara bersamaan juga mempengaruhi penyerapannya. Vitamin C misalnya, meningkatkan absorbsi besi bila dimakan pada waktu bersamaan. Vitamin D kalsiterol meningkatkan absorbsi kalsium.
Sementara, mineral juga berinteraksi dengan serat. Asam fitat dalam serat kacang-kacangan dan serelia serta asam oksalat dalam bayam mengikat mineral-mineral tertentu sehingga dapat diserap. Makanan tinggi serat, lebih dari 35 g sehari, menghambat absorbsi kalsium, zat besi, seng, dan magnesium.
Kini yang jadi pertanyaan, sejauh mana kita masih memerlukan suplemen makanan ini bila kita sudah mengonsumsi makanan yang kandungan gizinya sama dengan suplemen makanan? Doktor Elvina Karyadi, M.Sc., ahli gizi masyarakat pada SEAMEO - Tropmed, UI, menguraikan, sebagai makanan tambahan atau pelengkap tentunya suplemen makanan harus benar-benar dikonsumsi dalam kondisi yang tepat dan sesuai dengan kondisi tubuh seseorang. Bila makanan yang dikonsumsi sudah seimbang dan memenuhi prinsip 4 Sehat 5 Sempurna, cukup berolahraga, cukup beristirahat atau tidur, hidup teratur, jauh dari stres, bebas cemaran polutan, maka suplemen tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.
Namun, bila kondisi di atas tidak terpenuhi, maka suplemen makanan layak dikonsumsi. Kon-disi lain yang layak diperhatikan adalah adanya keunikan struktur organ dan jaringan tubuh orang per orang. Akibatnya, untuk mencapai kecukupan gizinya pun berbeda. Misalnya, seseorang yang mengalami diare atau gangguan pencernaan karena kekurangan enzim pencernaan tertentu dalam ususnya, dapat dibantu dengan suplemen makanan tentu sebagai tambahan obat yang diresepkan dokter.
Sementara itu, faktor usia yang menyebabkan berkurangnya penyerapan zat gizi atau gangguan pada gigi yang menyebabkan sulit makan, terkadang memerlukan suplemen makanan sebagai pelengkap. Penggunaan suplemen makanan juga dapat bermanfaat untuk seseorang yang mengalami anemia pada ibu hamil, gondok, dan avitaminosis. Para perokok berat, peminum alkohol, dan pengguna obat-obatan dalam jangka lama seperti antituberkulosis yang memerlukan vitamin B6, pengguna obat antikejang, kontrasepsi steroid, dan anti-biotik tertentu yang dapat me-nyebabkan defisiensi jenis vitamin atau mineral tertentu.
Kesimpulannya, layak-tidaknya supleman makanan dikonsumsi tergantung pada tepat-tidaknya sasaran yang dituju. Masalahnya sungguh tidak mudah menentukan sasaran yang tepat. Nah!
0 Response to "Cara Mengonsumsi Suplemen Makanan yang Benar"
Post a Comment