Setelah mendapat air susu ibu secara eksklusif selama hampir enam bulan, Dian mulai diberi susu formula oleh ibunya. Satu jam setelah minum susu formula, raut wajah bayi mungil itu tampak pucat pasi. Hanya dalam hitungan menit, bayi berusia enam bulan itu pun memuntahkan seluruh cairan susu yang dikonsumsinya. Usai memuntahkan isi perutnya, bayi itu pun menangis dalam dekapan ibunya.
Dalam kondisi panik, Dian segera dibawa orang tuanya ke rumah sakit terdekat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dian didiagnosis menderita alergi susu sapi. Menurut dokter yang menanganinya, ada kemungkinan alergi itu diturunkan dari garis keturunan orang tuanya. Memang saya menderita alergi. "Kalau kena udara dingin atau debu, saya langsung pilek, kadang gatal-gatal," ujarnya.
Selain muntah begitu minum susu formula, timbul bercak kemerahan hampir di sekujur tubuh Dian.Ati, ibu dari Dian, lalu memutuskan menghentikan pemberian susu formula kepada anaknya selama sepekan. Atas anjuran dokter, ia lalu memberi susu formula hipoalergenik. Memang sempat nggak mau minum, mungkin karena rasanya kurang enak. "Yang penting, anak saya tidak lagi muntah dan ruam merah," tuturnya.
Ketika Dian menginjak usia satu tahun, Ati kemudian mengganti susunya dengan susu formula biasa. Ternyata putrinya tidak lagi menunjukkan gejala alergi. Dokter bilang, kalau sudah satu tahun sebaiknya dicoba dengan susu formula biasa. Awalnya sempat takut juga kalau alerginya malah kambuh. "Setelah dicoba, ternyata anak saya tidak mengalami gejala alergi," kata Ati senang.
Lain lagi cerita tentang Cut Fabiayya. Ia justru menderita alergi susu sapi dari makanan yang dikonsumsi ibunya. Saat berusia lebih dari satu bulan, bagian pipinya ruam merah. Ia juga mencret berulang kali dalam sehari. Padahal begitu lahir, ia mendapat ASI secara eksklusif dari ibunya.
Setelah diperiksa dokter, ia ternyata menderita alergi susu sapi. Bakat alergi itu berasal dari kedua orang tuanya yang menderita asma. Penyebabnya, selama menyusui, ibunya mengonsumsi susu sapi untuk ibu menyusui dan makan beberapa jenis makanan yang berpotensi memicu terjadinya alergi. "Sekarang saya pantang makan ikan laut, telur dan kacang tanah, susunya juga diganti susu kedelai," kata Rifsia, ibu dari Cut Fabiayya.
Meningkat
Angka kejadian penyakit alergi pada anak meningkat seiring perubahan pola hidup masyarakat modern, pencemaran lingkungan, dan zat-zat dalam makanan. "Alergi adalah reaksi kekebalan yang menyimpang dari normal dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh," kata dr Zakiudin Munasir, Ketua Divisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dalam seminar, Mei lalu, di Jakarta.
Dalam tubuh terdapat lima jenis antibodi atau imunoglobulin, yaitu imunoglobulin G, A, M, E, dan D. Imunoglobulin E adalah antibodi yang banyak berperan pada reaksi alergi. Dalam tubuh penderita alergi, ada imunoglobulin E berkadar tinggi, terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap zat-zat tertentu pemicu reaksi alergi, seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga atau makanan tertentu, seperti telur, susu, ikan laut.
Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian alergi pada anak prasekolah 10 hingga 12 p ersen, dan pada usia sekolah 8,5 sampai 12,2 persen. D epartemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan, 15 persen dari total jumlah populasi penduduk di negara itu alergi terhadap jenis makanan tertentu. Sekitar 20 persen anak usia kurang dari satu tahun pernah mengalami reaksi alergi terhadap makanan.
Di Indonesia, angka kejadian alergi pada anak Indonesia belum banyak diteliti. Dari penelitian di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Pusat, ternyata 25,5 persen anak menderita alergi, antara lain gejala alergi pada hidung dan kulit. Dari hasil uji klinik pada 69 anak asma di Poli Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, ternyata 45,31 persen di antaranya alergi terhadap kepiting, 37,53 persen alergi terhadap udang kecil, dan 26,56 persen alergi terhadap coklat.
"Jangan anggap enteng alergi pada anak karena berisiko terhadap tumbuh kembang anak," kata Zakiudin Munasir. Gejala yang sering terlihat adalah muntah, diare berlanjut yang kadang disertai darah, dermatitis atopik seperti bintik-bintik merah dan gatal, gangguan pernapasan berupa batuk berulang dan asma.
Sebagian besar mengenai saluran cerna karena kontak yang pertama kali dan ditandai bengkak dan gatal di bibir sampai lidah dan orofarings, nyeri dan kejang perut, muntah sampai dengan derajat berat dengan tinja berdarah. Bila alergen makanan lolos dari saluran cerna, gejala alergi di organ-organ seperti kulit ( dermatitis atopik, urtikaria), hidung (rinitis), mata (konjungtivitis), saluran pernapasan (asma), susunan saraf pusat (sakit kepala), atau gejala sistemik yang fatal misalnya syok anafilaksis.
Namun alergi sering sulit didiagnosis karena terjadi reaktivitas silang antar makanan. misalnya kacang tanah dengan kacang ked elai yang punya epitop sama meski memiliki protein berbeda. Selain itu, adanya alergi terhadap bahan adiktif atau bahan lain yang terkandung dalam makanan itu seperti bumbu dan pengawet. Untuk memastikan adanya alergi, bisa dilakukan tes alergi, ujar Zakiudin.
Bersifat genetik
Seseorang bisa menderita alergi bila salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat alergi. Kemungkinan alergi lebih besar bila yang mempunyai riwayat alergi adalah ibu atau kedua orangtuanya. Hal ini menunjukkan alergi bersifat genetik. "Jenis alergi tidak selalu sama dengan orang tuanya," ujarnya.
Reaksi alergi juga bisa dipicu oleh faktor lingkungan yaitu alergen, infeksi, polusi, dan aktivitas fisik berlebihan. Pada janin, bayi, dan anak-anak, pencetus alergi adalah orangtua dan orang sekitar, makanan, obat-obatan, dan lingkungan. "Makanan yang bisa memicu alergi terutama susu sapi, ikan laut, telur, d an kacang tanah," kata Zakiudin menambahkan.
Risiko mengalami alergi pada anak juga meningkat jika ibunya merokok saat hamil dan menyusui, diet dengan mengonsumsi makanan alergen. Anak-anak juga berisiko mengalami alergi bila tidak mendapat ASI atau memperoleh ASI dalam waktu singkat. S aat ini banyak ibu bekerja sehingga tidak bisa menyusui secara penuh. Jadi, bayi lalu minum susu formula. Pada anak yang berbakat alergi, susu formula berbahan dasar susu sapi bisa jadi pencetus alergi, ujarnya.
Sebenarnya reaksi alergi bisa dicegah dengan menghindari pencetus alergi yaitu mengganti makanan sumber alergen dengan makanan dengan nilai gizi sama untuk mencegah malnutrisi. Umumnya alergi makanan pada anak akan menghilang dalam jangka waktu tertentu. Risiko alergi akan berkurang dengan pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan atau lebih karena ASI mengandung zat gizi lengkap, termasuk probiotik dan protein hypo allergenik, kata Zakiudin.
Bagi bayi yang telah berusia enam bulan ke atas bisa diberi makanan pengganti ASI dan susu formula. Tentunya susu yang diberikan dengan formula susu sapi yang sudah diproses. Susu hipoalergenik diberikan untuk mencegah terjadinya alergi pada bayi yang memang memiliki bakat alergi. Adapun susu formula non alergenik diberikan untuk bayi yang sudah alergi susu sapi.
Alergi juga bisa dicegah dengan menghindari asap rokok pada ibu hamil dan menyusui, ujarnya. Pengobatan diberikan dengan obat-obatan antihistamin H1 dan H2. Adapun imunoterapi bagi bayi penderita alergi masih belum ada studi yang memadai untuk membuktikan hasilnya. Dengan pencegahan dan pengobatan yang tepat, anak penderita alergi bisa tumbuh kembang secara optimal.
Sumber : Kompas
Dalam kondisi panik, Dian segera dibawa orang tuanya ke rumah sakit terdekat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dian didiagnosis menderita alergi susu sapi. Menurut dokter yang menanganinya, ada kemungkinan alergi itu diturunkan dari garis keturunan orang tuanya. Memang saya menderita alergi. "Kalau kena udara dingin atau debu, saya langsung pilek, kadang gatal-gatal," ujarnya.
Selain muntah begitu minum susu formula, timbul bercak kemerahan hampir di sekujur tubuh Dian.Ati, ibu dari Dian, lalu memutuskan menghentikan pemberian susu formula kepada anaknya selama sepekan. Atas anjuran dokter, ia lalu memberi susu formula hipoalergenik. Memang sempat nggak mau minum, mungkin karena rasanya kurang enak. "Yang penting, anak saya tidak lagi muntah dan ruam merah," tuturnya.
Ketika Dian menginjak usia satu tahun, Ati kemudian mengganti susunya dengan susu formula biasa. Ternyata putrinya tidak lagi menunjukkan gejala alergi. Dokter bilang, kalau sudah satu tahun sebaiknya dicoba dengan susu formula biasa. Awalnya sempat takut juga kalau alerginya malah kambuh. "Setelah dicoba, ternyata anak saya tidak mengalami gejala alergi," kata Ati senang.
Lain lagi cerita tentang Cut Fabiayya. Ia justru menderita alergi susu sapi dari makanan yang dikonsumsi ibunya. Saat berusia lebih dari satu bulan, bagian pipinya ruam merah. Ia juga mencret berulang kali dalam sehari. Padahal begitu lahir, ia mendapat ASI secara eksklusif dari ibunya.
Setelah diperiksa dokter, ia ternyata menderita alergi susu sapi. Bakat alergi itu berasal dari kedua orang tuanya yang menderita asma. Penyebabnya, selama menyusui, ibunya mengonsumsi susu sapi untuk ibu menyusui dan makan beberapa jenis makanan yang berpotensi memicu terjadinya alergi. "Sekarang saya pantang makan ikan laut, telur dan kacang tanah, susunya juga diganti susu kedelai," kata Rifsia, ibu dari Cut Fabiayya.
Meningkat
Angka kejadian penyakit alergi pada anak meningkat seiring perubahan pola hidup masyarakat modern, pencemaran lingkungan, dan zat-zat dalam makanan. "Alergi adalah reaksi kekebalan yang menyimpang dari normal dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh," kata dr Zakiudin Munasir, Ketua Divisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dalam seminar, Mei lalu, di Jakarta.
Dalam tubuh terdapat lima jenis antibodi atau imunoglobulin, yaitu imunoglobulin G, A, M, E, dan D. Imunoglobulin E adalah antibodi yang banyak berperan pada reaksi alergi. Dalam tubuh penderita alergi, ada imunoglobulin E berkadar tinggi, terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap zat-zat tertentu pemicu reaksi alergi, seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga atau makanan tertentu, seperti telur, susu, ikan laut.
Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian alergi pada anak prasekolah 10 hingga 12 p ersen, dan pada usia sekolah 8,5 sampai 12,2 persen. D epartemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan, 15 persen dari total jumlah populasi penduduk di negara itu alergi terhadap jenis makanan tertentu. Sekitar 20 persen anak usia kurang dari satu tahun pernah mengalami reaksi alergi terhadap makanan.
Di Indonesia, angka kejadian alergi pada anak Indonesia belum banyak diteliti. Dari penelitian di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Pusat, ternyata 25,5 persen anak menderita alergi, antara lain gejala alergi pada hidung dan kulit. Dari hasil uji klinik pada 69 anak asma di Poli Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, ternyata 45,31 persen di antaranya alergi terhadap kepiting, 37,53 persen alergi terhadap udang kecil, dan 26,56 persen alergi terhadap coklat.
"Jangan anggap enteng alergi pada anak karena berisiko terhadap tumbuh kembang anak," kata Zakiudin Munasir. Gejala yang sering terlihat adalah muntah, diare berlanjut yang kadang disertai darah, dermatitis atopik seperti bintik-bintik merah dan gatal, gangguan pernapasan berupa batuk berulang dan asma.
Sebagian besar mengenai saluran cerna karena kontak yang pertama kali dan ditandai bengkak dan gatal di bibir sampai lidah dan orofarings, nyeri dan kejang perut, muntah sampai dengan derajat berat dengan tinja berdarah. Bila alergen makanan lolos dari saluran cerna, gejala alergi di organ-organ seperti kulit ( dermatitis atopik, urtikaria), hidung (rinitis), mata (konjungtivitis), saluran pernapasan (asma), susunan saraf pusat (sakit kepala), atau gejala sistemik yang fatal misalnya syok anafilaksis.
Namun alergi sering sulit didiagnosis karena terjadi reaktivitas silang antar makanan. misalnya kacang tanah dengan kacang ked elai yang punya epitop sama meski memiliki protein berbeda. Selain itu, adanya alergi terhadap bahan adiktif atau bahan lain yang terkandung dalam makanan itu seperti bumbu dan pengawet. Untuk memastikan adanya alergi, bisa dilakukan tes alergi, ujar Zakiudin.
Bersifat genetik
Seseorang bisa menderita alergi bila salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat alergi. Kemungkinan alergi lebih besar bila yang mempunyai riwayat alergi adalah ibu atau kedua orangtuanya. Hal ini menunjukkan alergi bersifat genetik. "Jenis alergi tidak selalu sama dengan orang tuanya," ujarnya.
Reaksi alergi juga bisa dipicu oleh faktor lingkungan yaitu alergen, infeksi, polusi, dan aktivitas fisik berlebihan. Pada janin, bayi, dan anak-anak, pencetus alergi adalah orangtua dan orang sekitar, makanan, obat-obatan, dan lingkungan. "Makanan yang bisa memicu alergi terutama susu sapi, ikan laut, telur, d an kacang tanah," kata Zakiudin menambahkan.
Risiko mengalami alergi pada anak juga meningkat jika ibunya merokok saat hamil dan menyusui, diet dengan mengonsumsi makanan alergen. Anak-anak juga berisiko mengalami alergi bila tidak mendapat ASI atau memperoleh ASI dalam waktu singkat. S aat ini banyak ibu bekerja sehingga tidak bisa menyusui secara penuh. Jadi, bayi lalu minum susu formula. Pada anak yang berbakat alergi, susu formula berbahan dasar susu sapi bisa jadi pencetus alergi, ujarnya.
Sebenarnya reaksi alergi bisa dicegah dengan menghindari pencetus alergi yaitu mengganti makanan sumber alergen dengan makanan dengan nilai gizi sama untuk mencegah malnutrisi. Umumnya alergi makanan pada anak akan menghilang dalam jangka waktu tertentu. Risiko alergi akan berkurang dengan pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan atau lebih karena ASI mengandung zat gizi lengkap, termasuk probiotik dan protein hypo allergenik, kata Zakiudin.
Bagi bayi yang telah berusia enam bulan ke atas bisa diberi makanan pengganti ASI dan susu formula. Tentunya susu yang diberikan dengan formula susu sapi yang sudah diproses. Susu hipoalergenik diberikan untuk mencegah terjadinya alergi pada bayi yang memang memiliki bakat alergi. Adapun susu formula non alergenik diberikan untuk bayi yang sudah alergi susu sapi.
Alergi juga bisa dicegah dengan menghindari asap rokok pada ibu hamil dan menyusui, ujarnya. Pengobatan diberikan dengan obat-obatan antihistamin H1 dan H2. Adapun imunoterapi bagi bayi penderita alergi masih belum ada studi yang memadai untuk membuktikan hasilnya. Dengan pencegahan dan pengobatan yang tepat, anak penderita alergi bisa tumbuh kembang secara optimal.
Sumber : Kompas
0 Response to "JANGAN PERNAH ANGGAP ENTENG ALERGI"
Post a Comment